OPINI|TribunX.id, Kadang saya suka mikir, tulisan itu seperti setrum PLN 220 volt. Kalau nyengatnya pas, bisa bikin orang kaget, bisa bikin orang sadar, bahkan bisa bikin pejabat langsung loncat dari kursi empuknya. Nah, itulah yang terjadi setelah saya menulis “Madrasah di Ujung Sampah, Cahaya di Tengah Bau Busuk”. Tulisan itu ternyata bukan cuma sekadar ocehan di warkop, tapi semacam doa yang diaminkan semesta, dan dijawab dengan cepat oleh Kementerian Agama, khususnya Kanwil Kemenag Kalbar.
Lewat Pak Mahmud Jayadi, Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil, saya diundang bak seorang penulis istimewa yang tulisannya lebih manjur dari proposal bermeterai. “Ayo, Bangros, kita turun ke lokasi,” katanya. Eh, yang ngajak bukan sembarang orang. Saya sampai ikut satu mobil dinas dengan Pak Muhajirin Yanis, Kepala Kanwil Kemenag Kalbar. Ini orang nomor satu, anak buah langsung Menteri Agama di Kalbar. Kalau di dunia wayang, beliau ini semacam Werkudara, badannya gagah, langkahnya cepat, dan bicaranya mantap.
Sebelum berangkat, saya sempat diajak ngobrol di ruangannya. Baru kali itu saya masuk ruangan ber-AC, luas, kursinya empuk, ada meja rapat pula. Rasanya seperti masuk surga kecil setelah seharian nongkrong di warkop yang kursinya bolong kena puntung rokok. Kami bicara soal tulisan saya, sambil beliau menyerahkan laporan resmi dari Kemenag Kota Pontianak. Dalam laporan itu, nama saya disebut berkali-kali. Hati saya langsung berbisik, “Nah, ini baru level. Tulisan saya sampai jadi dokumen resmi negara. Entah sebentar lagi masuk arsip nasional.”
Pak Muhajirin cuma tersenyum, lalu berfilosofi, “Sekali-sekali perlu juga dicubit, supaya tahu rasanya sakit.” Saya dalam hati, wah, jangan-jangan beliau ini diam-diam murid Nietzsche versi islami.
Perjalanan pun berlanjut. Tapi sebelum itu, mampir dulu ke rumah makan Arab, Al Mumtaz. Tentu tidak mungkin gerak cepat kalau perut keroncongan. Saya pun makan nasi biryani, satu meja dengan Pak Kanwil, Pak Ruslan (Kepala Kemenag Kota), Kepala TU, dan Pak Sipni, Kabid Pendis. Makan lahap, seperti para sahabat Nabi di Padang Arafah. Saya sendiri nyendok dengan gaya filosof Yunani, pelan-pelan, tapi dalam hati mikir, “Ah, beginilah rasanya menulis, dibayar dengan biryani.”
Setelah itu, barulah kami ke lokasi. Jalan Kebangkitan Nasional, Pontianak Utara, butuh 30 menit. Begitu sampai, saya lihat plang madrasah. Ada logo Kemenag, ada tulisan “Kementerian Agama Kota Pontianak”. Sekilas, seolah itu milik Kemenag. Padahal, kata Pak Ruslan, “Itu salah, mestinya nama yayasan Miftahussholihin.” Gara-gara plang, beliau sampai dikirimi pesan Ketua Dewan. Saya tertawa dalam hati, beginilah Indonesia, salah tulis plang bisa lebih viral dari salah bikin kebijakan.
Madrasahnya sendiri, aduhai. Jendelanya tanpa kaca, atapnya bocor, siswanya cuma 18 orang. Kalau ada hujan, kelas bisa jadi kolam ikan. Tapi di sanalah hadir Nurhasanah, kepala madrasah yang wajahnya tetap teduh, ada wakil kepala Ahmad Thoriman, ada Nyai Rohoma sang ketua yayasan, juga ketua komite. Wajah mereka penuh harap.
Saya tak perlu mengulas apa yang mereka bahas dengan pejabat Kemenag. Itu urusan teknis. Yang jelas, saya melihat dengan mata kepala sendiri, gerak cepat Kemenag itu nyata. Bayangkan, wak! Hanya dengan satu tulisan 600 kata, Kanwil dan pasukan Pendis turun langsung ke lokasi. Kalau ini bukan bukti kepedulian, lalu apa lagi?
Dalam perjalanan pulang, saya duduk lagi satu mobil dengan Pak Kanwil. Jalanan terasa berbeda. Ada rasa bangga, ada rasa senang. Seperti seorang murid madrasah yang tiba-tiba dinilai nilainya 100 oleh guru besar. Saya tersenyum sendiri, ternyata kata-kata tidak selalu sia-sia. Kadang, kata-kata bisa lebih cepat dari surat dinas.
Filsafatnya begini, madrasah itu ibarat lampu kecil di tengah gelap. Bau sampah sekalipun tak bisa mematikan sinarnya. Yang dibutuhkan hanya sedikit angin segar dan perhatian. Kemenag sudah turun tangan, mari kita jaga bersama-sama.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar