Empat Tim dengan 15 Tersangka hanya untuk Melenyapkan Seorang Ilham

OPINI|TribunX.id, Empat tim. Bayangkan! Bukan satu, bukan dua, tapi empat tim yang disusun rapi seolah-olah ini operasi militer. Semua itu demi seorang kepala cabang bank bernama Ilham. Untuk menyingkirkan si Ilham, butuh 15 orang, lengkap dengan manajemen kerja bakti kriminal lebih disiplin dari startup teknologi. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di puncak rencana, ada Dwi Hartono, pengusaha flamboyan yang sakit hati karena pinjaman Rp15 miliar ditolak. Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, Ilham tidak punya kuasa final atas pinjaman sebesar itu. Struktur bank BUMN sudah jelas, angka di atas Rp10 miliar harus lewat komite kredit pusat, melibatkan divisi risiko, legal, audit, bahkan kadang direksi. Sebenarnya, Ilham hanyalah penjaga pintu awal, seorang wasit yang meniup peluit sebelum pertandingan dimulai. Tapi justru di situlah tragedi terjadi. Wasit yang berani bilang “offside” malah harus mati.

Maka dirancanglah empat tim. Tim pertama, otak intelektual, mereka duduk bak dewan direksi gelap. Dwi Hartono, C alias Ken, YJ, dan AA, mendiskusikan dendam dengan keseriusan yang mengalahkan rapat tahunan BUMN. Mereka seperti CEO bayangan yang menandatangani kontrak maut. Untuk merencanakan aksi biadab itu, Dwi gelar pertemuan di Hotel Fairmont Jakarta. Pertemuan itu berlangsung sekitar sebulan sebelum eksekusi, dan jadi titik awal penyusunan strategi penculikan, penganiayaan, hingga pembuangan jasad

Tim kedua, para pengintai, bertugas seperti Google Maps hidup. Mereka menempel Ilham, mencatat kapan dia parkir di Pasar Rebo, kapan ia keluar dari kantor, bahkan mungkin kapan ia membeli kopi sachet di warung. Semua detail dilaporkan, karena dalam dunia kriminal modern, informasi adalah modal utama.

Lalu datang tim ketiga, para penculik dan eksekutor. Inilah barisan “tenaga lapangan” yang penuh gairah. Ada Eras, RS, AT, RAH, dan kawan-kawan. Mereka bekerja dengan presisi yang membuat film action murahan terasa kalah dramatis. Ilham diangkut dari parkiran supermarket, diikat, dililit lakban matanya, lalu dibawa dalam perjalanan sunyi menuju akhir hidupnya. Semua dilakukan dengan disiplin, seakan ada SOP rahasia yang berbunyi, “Ikatan harus kencang, lakban harus rapi, korban harus tak berdaya sebelum matahari terbit.”

Akhirnya, tim keempat, pembuang jasad, muncul sebagai divisi pembersih jejak. Mereka menaruh Ilham di sawah Karangsambung, Bekasi, menjelang subuh, seolah-olah menyamarkan tragedi menjadi bagian dari pemandangan pedesaan. Tapi justru di situlah absurditas mencapai klimaks. Jasad Ilham ditemukan warga dalam keadaan tangan dan kaki terikat, mata terlilit lakban. Saksi melihatnya bukan sebagai misteri detektif, tapi sebagai potret muram republik yang sering menyelesaikan urusan dengan cara paling brutal.

Namun, semakin detail kisah ini, semakin besar pertanyaan yang menampar logika. Mengapa harus empat tim? Mengapa harus 15 orang? Apakah Ilham benar-benar hanya seorang kepala cabang biasa? Atau apakah ia menyimpan rahasia yang lebih besar dari sekadar proposal kredit fiktif? Jika dendam Dwi Hartono hanyalah alasan, mungkinkah ada motif lain yang lebih kelam, pencucian uang, jaringan sindikat, atau rahasia aliran dana yang tak boleh bocor ke publik?

Polisi kini tampak begitu bersemangat, memburu tersangka satu per satu, hingga Rohmat Sukur pun tertangkap di Ungaran setelah sempat lari dari Candisari. Semua data dipaparkan, semua detail diumbar. Tapi kontrasnya terlalu telanjang, kematian diplomat muda Arya Daru yang misterius masih ditutup dengan satu kalimat pendek, bunuh diri. Mengapa Ilham diperlakukan seperti blockbuster investigasi, sementara Arya cukup ditutup dengan “ending singkat”?

Tragedi Ilham pun menjadi lebih dari sekadar kriminal. Ia adalah metafora. Bahwa di negeri ini, kejujuran bisa dihukum dengan operasi sebesar perang semesta. Sementara kejanggalan lain dibiarkan hilang begitu saja. Akhirnya kita sadar, yang mati bukan hanya Ilham, tapi juga logika.

Foto Ai, hanya ilustrasi saja.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *