Malah Presiden Ditantang Keluarkan Perppu

OPINI|TribunX.id, Artikel sebelumnya begitu naik di media sosial, komentar netizen meledak macam reaksi eksotermis, panas, membara, siap membakar Senayan. Ribuan komentar berseliweran kayak elektron bebas dalam kawat tembaga. Ada yang teriak DPR tukang alasan, ada juga yang bela bilang, “Kalau serius, Presiden bisa bikin Perppu dong.” Lah, bola panas yang tadinya lagi dipantulkan ke DPR, mendadak dilempar balik ke Presiden. Ini jelas hukum Newton ketiga, setiap aksi DPR menghasilkan reaksi netizen yang sama besarnya, tapi arahnya berlawanan.

Presiden Prabowo sendiri sudah bilang “gaskeun”, tapi DPR tetap pakai dalih “hati-hati”. Kalau ini diibaratkan fisika, kecepatan awal sudah diberikan, tapi DPR sengaja pasang gaya gesek super besar supaya benda nggak pernah meluncur. Bayangkan, sejak 2008 RUU Perampasan Aset nongkrong di daftar Prolegnas, ibarat partikel radioaktif berumur paruh panjang, tak pernah habis dibahas, cuma terus meluruh dengan alasan basi.

Bambang Pacul, waktu masih Ketua Komisi III, sudah pernah bilang, urusan mengesahkan RUU itu bukan soal hukum semata, tapi itungan politik antar ketua parpol. Analogi gampangnya begini, di laboratorium politik Senayan, pasal dan ayat cuma jadi zat pelarut. Sedangkan katalis utamanya adalah kode lampu hijau dari ketum parpol. Kalau katalis itu tidak dimasukkan ke dalam reaksi, ya mustahil terjadi perubahan. Artinya, hukum di negeri ini tunduk bukan pada hukum termodinamika atau hukum negara, tapi pada hukum rimba politik, siapa yang pegang remote lampu lalu lintas, dia yang menentukan.

Beberapa waktu lalu, Prabowo bahkan sudah mengundang para ketua parpol ke istana. Konon, untuk menyikapi demo mahasiswa yang ribuan jumlahnya turun ke jalan. Logikanya, kalau semua unsur reaktan sudah ada di tabung reaksi, tinggal dipanaskan sedikit, selesai juga reaksi RUU itu. Tapi apa yang terjadi? Diskusi berjalan macam percobaan gagal. Banyak asap, tidak ada hasil. Tidak satupun menyentuh isu RUU Perampasan Aset. Mungkin yang dibahas harga kopi, strategi 2029, atau bahkan teori gravitasi kenapa elektabilitas bisa naik-turun.

Di luar gedung megah itu, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Mereka melakukan aksi yang lebih mirip ledakan nuklir mini, energi besar, suara menggema, tapi diredam dengan dalih seribu satu alasan. Wajar saja mereka marah. Sebab, DPR ini seperti mesin perpetuum mobile yang tak pernah berhenti memproduksi alasan. Dengan 1001 dalih, wajar bila mahasiswa melihat wakil rakyatnya lebih suka ngeles ketimbang bekerja.

Kalau diringkas pakai hukum kekekalan energi, energi marah rakyat tidak pernah hilang, hanya berubah bentuk, dari status media sosial, jadi spanduk, lalu jadi gelombang massa di jalanan. Sementara energi DPR? Hilang tak berbekas, mungkin sudah berubah jadi sinyal Wi-Fi di ruang rapat mereka.

Pertanyaannya sederhana, dan ini sekaligus pertanyaan paling kimiawi, kalau memang mereka jujur, Kelau benar, kenapa mesti takut? Kecuali, memang salah dan suka merampok uang rakyat, wajar kalau takut. Tapi kalau terus bersembunyi di balik alasan “hati-hati”, jelas ada reaksi kimia busuk di dalam tabung Senayan.

Begitulah, bola panas RUU Perampasan Aset terus dilempar seperti proton tak bermassa, mantul dari DPR ke Presiden, dari Presiden balik ke DPR, dari DPR dilempar ke ketum parpol. Hasil akhirnya? Nol. Sama seperti eksperimen laboratorium murid malas, zat kimia habis dipakai, laporan kosong, nilai jeblok. Bedanya, yang rugi bukan hanya murid, tapi seluruh rakyat negeri ini.

Maka ke depan, rakyat tak perlu lagi demo di depan gedung DPR RI yang dijaga ribuan aparat dan pagar tembok raksasa. Cukup demo langsung di depan rumah masing-masing anggota dewan saja, siapa tahu lebih manjur, lebih efektif, dan akhirnya didengar. Karena kalau terus berharap pada gedung megah Senayan, rakyat hanya akan dipantulkan bolak-balik, macam elektron tersesat di ruang hampa tanpa pernah menemukan muara. Pada titik inilah, rasa muak jadi hukum universal, semakin lama DPR ngeles, semakin cepat rakyat ingin meledak, persis percepatan gravitasi yang tak bisa ditolak siapa pun.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *