OPINI|TribunX.id, Ini gue demen dengan mahasiswa. Tak bertele-tele, ultimatum DPR RI segera sahkan RUU Perampasan Aset dalam tempo 30 hari. “Apa tak gemetar lutut Dewan tu, wak?” Selama mereka masih bisa menikmati kopi, bisa disahkan oleh wakil rakyat kita. Ayo Tuan Sahroni, eh salah, Puan Maharani countdown dari sekarang!
Gini ceritanya, wak! Di ruang Abdul Muis, gedung kura-kura DPR RI, udara sejuk AC bercampur panasnya ultimatum mahasiswa. Agus Setiawan dari BEM Universitas Indonesia tampil seperti komentator tinju, suaranya bulat, penuh gaya heroik, seolah berkata, “Saudara-saudara, inilah ronde terakhir melawan korupsi!” Di sampingnya, Jili Colin dari BEM Trisakti menggebrak dengan suara lantang, menyodorkan ultimatum, “Tiga puluh hari, Bung! Kalau tidak, rakyat akan turun lagi, kali ini bukan sekadar orasi, tapi mungkin karaoke massal di depan gerbang DPR!” Dari GMNI dan HMI juga hadir, ikut menabuh genderang perang. Mereka datang bukan bawa gitar, tapi tuntutan yang lebih keras dari meriam karbit di Pontianak.
Yang mereka tagih sederhana, meski rasanya lebih rumit dari soal ujian SBMPTN, sahkan RUU Perampasan Aset sekarang juga. RUU ini digadang-gadang sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi. Benteng terakhir, Wak! Bayangkan, dari sekian banyak benteng, tinggal satu yang berdiri. Benteng moral sudah ambruk, benteng hukum bocor, benteng politik malah dipakai jadi warung kopi. Kalau benteng terakhir ini pun runtuh, ya wassalam, koruptor bisa bikin klub golf di atas penderitaan rakyat.
Dari sisi DPR, hadir Wakil Ketua Sufmi Dasco Ahmad. Gayanya tenang, seperti pemain catur yang siap melangkahkan pion. Katanya, RUU ini memang penting, tapi harus diharmonisasi dengan undang-undang lain. Ah, harmonisasi! Kata ajaib yang sering dipakai pejabat kalau belum siap kerja. Semacam alasan klasik, kalau telat masuk kantor, bilang macet. Kalau janji molor, bilang koordinasi. Kalau RUU mandek, bilang harmonisasi.
Masalahnya, rakyat sudah bosan dengar simfoni harmonisasi. Data tidak bisa bohong. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 memang naik tipis dari 34 ke 37. Katanya prestasi, padahal peringkat kita baru nongol di urutan 99 dari 180 negara. Itu pun gara-gara indikator internasional balik dipakai lagi. Ironisnya, Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) justru turun ke 3,85. Artinya? Rakyat makin permisif, korupsi dianggap biasa, kayak lampu merah yang boleh diterobos asal lihat kanan-kiri.
Belum lagi skandal raksasa Pertamina 2025 yang merugikan negara nyaris seribu triliun rupiah. Bayangkan angka itu, Wak. Kalau dibikin receh seratus perak, mungkin bisa dipakai bikin jembatan dari Sabang sampai Merauke, lengkap dengan rest area dan WiFi gratis. Dengan situasi begini, RUU Perampasan Aset jadi harapan terakhir, bukan sekadar undang-undang, tapi jimat nasional, azimat anti-korupsi yang ditunggu rakyat macam bocah nunggu episode baru anime.
Kini jam pasir sudah dibalik. Tiga puluh hari dari 3 September berarti waktu habis pada 3 Oktober 2025. Hitungan mundur dimulai: 30, 29, 28… setiap hari yang lewat adalah alarm di telinga rakyat. Bayangkan kalau DPR masih sibuk harmonisasi sementara rakyat sibuk harmonisasi utang, cicilan, dan harga cabai. Dramatis, bukan?
Rakyat di luar sana duduk menunggu, seperti penonton sinetron yang sudah bosan dengan episode filler. Pertanyaan menggantung di udara, apakah DPR berani menutup drama panjang ini dengan satu ketukan palu bersejarah? Atau kita hanya akan mendengar denting harmonisasi yang tak pernah selesai?
Jika tiga puluh hari ini berakhir tanpa jawaban, maka mahasiswa akan kembali turun, bukan dengan bunga, tapi dengan suara dan kemarahan. Dan saat itu tiba, tak ada harmonisasi yang bisa menghentikan badai.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar