Api di Gedung Rakyat, Tiga Nyawa Tersayat

OPINI|TribunX.id, Kemarin kita berkabung atas wafatnya, Affan Kurniawan. Hari ini untuk tiga warga biasa korban anarkisme di Makassar. “Innalillahiwainnailaihi rojiun.”

Malam itu Makassar bukan lagi kota, melainkan neraka yang turun ke bumi. Langit merah, bukan oleh senja, tapi oleh jilatan api yang melahap gedung DPRD, rumah rakyat yang ironisnya menjadi kuburan rakyat kecil. Asap hitam mengepul, menyesakkan setiap dada, menutup bulan, dan menggantikan cahaya malam dengan bara duka.

Di lantai empat gedung itu, Syaiful berdiri gemetar di jendela. Seorang pegawai kecamatan, bukan siapa-siapa di mata politik, hanya pria sederhana yang setiap hari pulang dengan sepeda motor butut untuk menemui anak-anaknya. Kini ia terjebak di antara api yang rakus dan ketinggian yang mematikan.
“Ya Allah… anakku…” bisiknya. Lalu tubuhnya melayang, terjun ke tanah keras. Jeritan massa pecah, tubuhnya remuk, tapi napasnya masih ada. Tak lama kemudian, rumah sakit menuliskan namanya di daftar korban meninggal.

Tak jauh dari sana, Sarinawati, gadis berusia 26 tahun, mencoba melawan asap dengan tangan yang gemetar. Ia sempat menekan nomor ibunya. “Mak… doakan saya…” suara itu terputus oleh batuk keras, lalu senyap. Teleponnya jatuh, tubuhnya pun terkulai. Ia masih sempat dibawa ke rumah sakit, namun api sudah lebih cepat mencuri nyawanya. Di kampung, ibunya meraung, “Kenapa bukan aku saja yang pergi lebih dulu?” raungan yang lebih pilu dari sirine pemadam.

Abay, seorang pegawai yang rajin dan pendiam, tidak pernah berhasil keluar. Api menutup setiap pintu, asap mengunci setiap jalan. Hanya identitas karyawan yang tersisa dari tubuhnya. Seakan dunia berkata, nama boleh diingat, tapi wajah sudah tak bisa dikenali lagi.

Di luar gedung, massa masih berteriak. Mereka menganggap api sebagai simbol perlawanan, padahal api itu tak pernah memilih, siapa benar, siapa salah, semuanya dilahap. Mereka marah karena seorang ojol, Affan, tewas beberapa hari sebelumnya. Tapi kemarahan itu, yang seharusnya menjadi teriakan keadilan, berubah menjadi pembantaian. Nyawa-nyawa lain yang tak tahu apa-apa kini menjadi tumbal.

Di ruang IGD rumah sakit, tubuh-tubuh luka bergelimpangan. Budi, 30 tahun, terbaring koma dengan wajah penuh jelaga. Heriyanto, 28 tahun, patah tulang setelah nekat melompat dari lantai tiga. Sahabuddin, seorang pegawai setia, mengerang kesakitan karena pinggulnya hancur. Di sudut ruangan, seorang ibu menciumi kening anaknya yang pingsan, berharap keajaiban turun dari langit. Tangis keluarga bercampur bau obat-obatan, menciptakan pemandangan yang bahkan malaikat pun enggan melihatnya.

Makassar muram. Jalan-jalan yang biasanya penuh pedagang kini hanya menyisakan kaca pecah dan ban terbakar. Gedung yang dulunya simbol demokrasi kini menjadi monumen hitam pekat, berdiri seperti arwah gentayangan yang memandangi rakyatnya sendiri.

Pemakaman berlangsung sunyi. Di pusara Sarinawati, ibunya terduduk lemah, mencakar tanah merah dengan jari-jarinya yang berdarah. “Dia hanya kerja, Tuhan… dia hanya kerja…” tangis itu menggetarkan setiap hati yang mendengar. Di rumah Syaiful, dua anak kecil bertanya polos, “Mak, bapak kapan pulang?” Sang istri hanya bisa menangis, menggigit bibir sampai berdarah agar tidak meraung di depan anaknya.

Tragedi ini mengajarkan, anarkisme tak pernah melahirkan keadilan. Ia hanya melahirkan air mata, jenazah, dan penyesalan yang datang terlambat. Gedung rakyat bisa dibangun kembali, tapi siapa bisa mengembalikan seorang ayah bagi anaknya, seorang anak bagi ibunya, seorang suami bagi istrinya?

Malam itu, Makassar menulis sejarah dengan tinta air mata. Api padam, tapi luka akan membara sepanjang ingatan bangsa ini.

Pesan moral, silakan demo, namun jangan menjadikan rakyat kecil, orang tak berdosa jadi korban. Kemudian, jangan merusak fasilitas umum. Jangan menjarah toko atau kantor yang notabene milik rakyat juga. Fokus lah demo untuk membuat para pemimpin negeri mendengarkan suara rakyat. Alfatehah untuk para korban.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *