Countdown 30 Hari Menuju Pengesahan RUU Perampasan Aset

OPINI|TribunX.id, Sejak 3 September kemarin, mahasiswa sudah mengultimatum Dasco cs. “Kami kasih waktu 30 hari untuk mensahkan RUU Perampasan Aset!” Mahasiswa pemberani, dan mari kita lindas, eh salah, kupas countdown ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Hitungan mundur sudah berjalan, detik demi detik menekan jantung DPR, tapi masih saja ada suara-suara yang mencoba meninabobokan rakyat. “Kalian sudah baca belum draft RUU itu?” Begitu kata mereka, seolah ingin membuat rakyat ragu. Padahal, yang jelas, sampai hari ini, RUU itu bahkan belum juga dibahas secara serius. Kalau mau menunggu sempurna, menunggu harmonisasi ala Dewan, yakinlah Wak, tak bakalan kelar tu RUU. Dunia ini sudah kiamat duluan, yang ada hanya RUU di atas kertas, penuh coretan merah, tapi tak pernah diketok palu.

Kalau dipikir logika sederhana, rasa takut itu hanya muncul dari orang yang merasa bersalah. Coba Wak, orang benar, tak perlu takut. Ia justru siap dengan risiko, karena tahu dirinya bersih. Tapi yang terjadi, setiap kali RUU ini disebut, wajah sebagian anggota Dewan pucat pasi, keringat dingin bercucuran, mirip mahasiswa yang belum belajar lalu disuruh presentasi. Deg-degan, tapi pura-pura tenang.

Ada alasan yang lebih busuk dari harmonisasi. Konon, alasan sebenarnya kenapa DPR tak nyaman dengan RUU ini karena gedung kura-kura itu bukan sekadar tempat rapat, tapi juga gudang rahasia dosa politik. Bagaimana mungkin mereka mau membuka pintu penjara bagi koruptor, sementara di dalam ruangan itu sendiri ada aroma kopi mahal yang dibeli dari uang haram? Katanya, hantu-hantu korupsi masih gentayangan di lorong gedung, bergentayangan dari lobi ke ruang fraksi, dari ruang fraksi ke ruang pimpinan, sambil berbisik: “Jangan sampai disahkan, nanti kita semua miskin!”

Ya, Wak! Itulah ketakutan paling dalam, miskin. DPR mungkin tidak takut kehilangan kursi, tidak takut kehilangan elektabilitas, tidak takut kena caci-maki rakyat. Tapi ketika mendengar kata perampasan aset, lutut langsung lemas. “Ngelotek,” kata orang Sambas.

Ya, seolah-olah malaikat pencabut nyawa sedang berdiri di depan pintu. Sebab kalau RUU ini jalan, aset tak jelas asal-usul bisa disikat habis. Rumah mewah, mobil sport, deposito gendut, vila di Puncak, sampai saham siluman, semua bisa raib begitu saja. Bagi mereka, itu bukan sekadar barang, tapi nyawa kedua.

Padahal, rakyat di luar sana tak peduli soal harmonisasi. Mereka sudah capek menghadapi harmonisasi cicilan, harmonisasi utang, harmonisasi harga cabai. Yang rakyat butuh hanya satu: kepastian bahwa koruptor tidak bisa lagi hidup mewah di atas penderitaan bangsa.

Sekarang, jam pasir terus menetes. Countdown menuju 3 Oktober 2025 bukan sekadar hitungan angka, tapi sebuah ujian sejarah. Apakah DPR berani mencatatkan namanya di buku besar bangsa sebagai penyelamat, atau justru tercatat sebagai generasi yang membiarkan korupsi beranak-pinak?

Kalau tiga puluh hari ini berakhir dengan nihil, maka jangan salahkan mahasiswa yang kembali turun ke jalan. Kali ini, mungkin mereka tidak hanya bawa poster, tapi juga jam weker raksasa, membangunkan Dewan yang pura-pura tidur.

Ketika badai itu datang, tidak ada harmonisasi yang bisa menyelamatkan mereka dari amarah rakyat.

Sambil ngitung hari, sambil menikmati kopi liberika plus pisang goreng Suka Hati di Jalan Tanjungpura Pontianak.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *