OPINI|TribunX id, Demo juga sudah mereda. Kita jalan-jalan ke Peru. Di sana seorang diplomat kita, dihabisi dengan tiga peluru. Dihabisi di depan istrinya lagi. Mari kita lindas, eh salah, kupas peristiwa tragis ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di Lima, Peru, malam 1 September 2025, dunia kembali menunjukkan betapa rapuhnya konsep damai yang sering kita banggakan. Zetro Leonardo Purba, seorang diplomat Indonesia berusia sekitar 40 tahun, gugur dengan tiga peluru menembus tubuhnya. Ia bukan tentara, bukan perwira yang sedang berperang, melainkan seorang Penata Kanselerai Muda di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Lima yang baru lima bulan bertugas. Lima bulan! Waktu yang bahkan belum cukup untuk sepenuhnya mengenal aroma kopi setempat, sudah dipaksa menjadi bab terakhir dalam kisah hidupnya.
Malam itu, Zetro sedang bersepeda bersama istrinya di kawasan Lince, hanya beberapa meter dari apartemen yang mereka tinggali. Sepeda, benda sederhana yang mestinya membawa kesehatan dan kebahagiaan, berubah menjadi saksi bisu tragedi. Dua pria tak dikenal datang, tiga kali menembakkan senjata, dan seketika dunia runtuh. Zetro sempat dilarikan ke Klinik Javier Prado, namun luka tembak terlalu dalam, terlalu ganas, hingga nyawanya tak tertolong. Sang istri, yang menyaksikan semuanya dengan mata sendiri, selamat. Tapi selamat di sini bukan berarti bebas, ia kini harus hidup dengan kenangan paling mengerikan yang bisa dimiliki seorang manusia.
Zetro bukan sosok sembarangan. Ia lulusan Sarjana Akuntansi, dengan sertifikasi Bendahara Negara Tersertifikasi (BNT) sejak 2018. Kariernya berlapis-lapis seperti mosaik pengabdian. Tahun 2019 hingga 2022, ia bertugas di Konsulat Jenderal RI (KJRI) Melbourne sebagai Bendahara dan Penata Kerumahtanggaan. Pada 2024, ia menjabat Sub Manajer Kinerja Organisasi di Sekretariat Ditjen Kerjasama ASEAN. Dan awal 2025, ia dipercaya mengemban tugas baru di KBRI Lima. Semua catatan itu kini berakhir di halaman terakhir: Penata Kanselerai Muda, gugur di negeri orang.
Karakter Zetro dikenal tenang, pekerja keras, dan sangat dekat dengan keluarga. Ia ayah dari tiga anak. Ia juga seorang pesepeda rutin, menjadikan aktivitas itu bukan sekadar olahraga, tapi gaya hidup. Ironinya, hobi yang sehat dan sederhana itu justru menjadi latar tempat maut menjemputnya.
Polisi Peru menyebut motif penembakan masih dalam penyelidikan. Dugaan sementara, balas dendam atau pembunuhan terencana. Entahlah. Dunia selalu punya cara untuk menjelaskan hal-hal absurd dengan bahasa dingin birokrasi. Sementara bagi keluarga Zetro, tidak ada teori kriminal apapun yang bisa menjawab mengapa seorang ayah harus dibunuh di depan istri, di negeri yang seharusnya menyambutnya sebagai tamu kehormatan.
Pemerintah Indonesia bergerak. Menteri Luar Negeri, Sugiono, menyampaikan duka mendalam dan menegaskan bahwa KBRI Lima serta otoritas Peru harus menyelidiki kasus ini secara tuntas. Jenazah akan segera dipulangkan ke tanah air, kembali ke Indonesia bukan dengan langkah gagah seorang diplomat, melainkan dengan kesunyian sebuah peti.
Respons awal dari Peru pun terdengar, kepolisian melakukan olah TKP, tim forensik bekerja, Kementerian Luar Negeri Peru berkoordinasi dengan KBRI. Media lokal, Panamericana Television, melaporkan bahwa pelaku masih buron, identitasnya samar. Seperti biasa, jawaban resmi datang dalam bentuk kalimat normatif yang sudah kita hafal sejak lama, “penyelidikan masih berlangsung.”
Dari Indonesia, suara DPR pun lantang. Wakil Ketua Komisi I, Dave Laksono, menuntut investigasi menyeluruh dan transparan, serta memastikan pelaku diadili sesuai hukum. Diplomasi kini berubah menjadi teriakan kemarahan, sebuah panggilan agar tragedi ini tidak ditutup rapat dalam arsip negara.
Lalu, kita, rakyat biasa, hanya bisa duduk, membaca berita, dan merasakan absurditas ini. Seorang diplomat, yang tugasnya menghubungkan bangsa-bangsa dengan damai, justru menjadi korban kekerasan. Bukankah ini satire paling menyakitkan? Di dunia yang mengaku maju, di kota yang mengaku modern, seorang utusan perdamaian bisa jatuh karena peluru yang entah dari siapa.
Selamat jalan, Zetro Leonardo Purba. Engkau telah membayar terlalu mahal untuk sebuah kata, pengabdian. Semoga, air mata bangsa ini bisa mengingatkan dunia, bahwa damai bukan sekadar jargon dalam rapat internasional, melainkan hak setiap manusia yang berjalan di jalanan kota.
Foto Ai, hanya ilustrasi
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar