PEKANBARU|TribunX.id, Hampir dua tahun sudah Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan korupsi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp57 triliun.
Status penyidikan diumumkan sejak 7 September 2023, namun hingga kini belum ada satu pun tersangka.
Mandeknya kasus ini menimbulkan kecurigaan bahwa perkara yang menyeret puluhan perusahaan sawit besar itu tengah dipetieskan.
Organisasi Masyarakat Pemuda Tri Karya (Petir) termasuk yang paling vokal.
Ketua Umum Petir, Jackson Sihombing, menilai Kejaksaan Agung terlalu lama menahan diri.
“Sudah hampir dua tahun publik menunggu. Dua puluh tiga perusahaan yang menerima dana itu harus segera diproses. Kalau dibiarkan, bisa memicu kemarahan rakyat,” kata Jackson kepada Riau Satu, Kamis, 4 September 2025.
Desakan Petir bukan tanpa alasan. Data yang mereka himpun menunjukkan sedikitnya 23 perusahaan menerima insentif biodiesel dari BPDPKS senilai Rp57,7 triliun sepanjang 2016–2020.
Menurut data yang dihimpun Petir, ada 23 perusahaan sawit yang menikmati insentif biodiesel dari BPDPKS dengan total mencapai Rp57,7 triliun pada periode 2016–2020.
Di puncak daftar penerima, PT Wilmar Nabati Indonesia mengantongi sekitar Rp8,76 triliun, disusul PT Wilmar Bioenergi Indonesia lebih dari Rp9 triliun, dan PT Musim Mas sebesar Rp7,19 triliun.
Raksasa sawit lain yang tak kalah besar adalah PT LDC Indonesia dengan Rp2,77 triliun, serta PT SMART Tbk sekitar Rp2,41 triliun.
Perusahaan besar lain juga masuk daftar, seperti PT Sinarmas Bio Energy (Rp1,61 triliun), PT Ciliandra Perkasa (Rp2,18 triliun), PT Tunas Baru Lampung Tbk (Rp2,08 triliun), PT Permata Hijau Palm Oleo (Rp2,63 triliun), dan PT Cemerlang Energi Perkasa (Rp3,6 triliun lebih dalam lima tahun).
Selain itu, ada sederet penerima dengan angka ratusan miliar hingga lebih dari satu triliun, antara lain PT Bayas Biofuels (Rp3,5 triliun), PT Multi Nabati Sulawesi (Rp2,16 triliun), PT Pelita Agung Agriindustri (Rp1,79 triliun), PT Sukajadi Sawit Mekar (Rp1,32 triliun), PT Datmex Biofuels (Rp1,15 triliun), dan PT Intibenua Perkasatama (Rp1,7 triliun lebih).
Tak ketinggalan, beberapa perusahaan dengan nilai lebih kecil namun tetap signifikan tercatat menerima insentif, seperti PT Energi Baharu Lestari (Rp302 miliar), PT Dabi Biofuels (Rp412 miliar), PT Anugerahinti Gemanusa (Rp49,48 miliar), PT Primanusa Palma Energi (Rp209,9 miliar), serta PT Indo Biofuels (Rp22,3 miliar).
Secara keseluruhan, aliran dana jumbo ini memperlihatkan betapa dominannya konglomerasi sawit dalam menguasai insentif BPDPKS.
Dari 23 perusahaan itu, sejumlah nama sudah dipanggil Kejaksaan Agung untuk diperiksa sejak akhir Oktober 2023, namun hingga kini publik masih menunggu siapa yang akan dijadikan tersangka.
Jajaran manajer produksi dari PT Pelita Agung Agriindustri, PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Multi Nabati Sulawesi, hingga PT Sinarmas Bio Energy pernah diperiksa.
Bahkan, penyidik turut memeriksa pejabat PT Pertamina serta manajer dari PT Jhonlin Agro Raya milik pengusaha Haji Isam.
Namun, dari rangkaian pemeriksaan itu, tak ada kejelasan kapan status saksi beralih menjadi tersangka.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Adriansyah, beralasan penyidikan berjalan lambat karena kompleksitas perkara.
Ia menyebut perlu kolaborasi dengan ahli ekonomi untuk menelusuri aliran dana.
“Ada beberapa petunjuk dalam gelar perkara yang belum dipenuhi penyidik,” ujar Febrie.
Alasan ini justru memunculkan tanda tanya.
Menurut sejumlah pegiat antikorupsi, skema insentif biodiesel BPDPKS sejak awal sarat konflik kepentingan.
Perusahaan sawit raksasa yang mendapat kucuran dana diduga memiliki kedekatan dengan elite politik dan pejabat negara.
“Inilah yang membuat kasusnya seret. Kalau semua dibongkar, bisa menyeret banyak nama besar,” katanya.
Mandeknya penyidikan ini mengulang pola yang kerap terjadi dalam kasus besar lain: dibuka dengan gegap gempita, namun meredup tanpa akhir.
Petir menegaskan akan terus menekan Kejaksaan Agung agar tak bermain-main.
“Publik berhak tahu. Jangan sampai kasus sebesar ini terkubur demi melindungi kepentingan kelompok tertentu,” kata Jackson.
Kasus dugaan korupsi BPDPKS menjadi ujian serius bagi Kejaksaan Agung.
Transparansi dan keberanian dalam menuntaskan perkara ini akan menentukan apakah hukum masih bisa berdiri tegak di tengah gurita bisnis sawit yang menguasai politik dan birokrasi negeri ini. ***