OPINI|TribunX.id, Demo besar mahasiswa masih bergelora. Dari Jakarta sampai Pontianak, dari kampus ke jalanan, suara mereka sama, “Sahkan RUU Perampasan Aset!” Namun, di balik gemuruh itu, para dewan tampak keringat dingin. Bukan karena AC DPR rusak, melainkan karena RUU ini seperti malaikat maut yang datang sambil bawa kalkulator KPK. Semua ngeles kayak bajaj di tikungan sempit, belok kiri tapi sein ke kanan.
Padahal, apa sih isi RUU itu? Sederhana, negara bisa merampas aset hasil korupsi, narkoba, atau pencucian uang tanpa harus nunggu vonis pidana inkrah. Kalau harta kekayaanmu tidak bisa dibuktikan asal-usulnya, siap-siap disita. Beban pembuktian pun dibalik, bukan jaksa yang ngotot, tapi pemilik harta yang harus membuktikan. Kalau sahih, aman. Kalau enggak, ya wassalam.
Untung bagi rakyat jelas, uang negara cepat kembali. Aset bisa dipakai buat sekolah, rumah sakit, subsidi, atau sekadar nutup defisit APBN yang sering bocor kayak atap rumah kontrakan. Bahkan, maling ayam tak lagi harus menanggung malu sendirian, sementara maling anggaran bisa bebas ketawa. Ini janji keadilan sosial yang selama ini cuma ada di buku Pancasila.
Tapi, rugi juga ada. Kalau aparat penegak hukum masih doyan kongkalikong, RUU ini bisa jadi pedang bermata dua. Bayangkan pengusaha kerupuk sukses, rumahnya megah, tapi dokumennya bolong, bisa saja dituduh hartanya “tidak wajar” lalu disita. Rakyat kecil bisa ketiban sial kalau sistem dijalankan sewenang-wenang.
Nah, di sinilah drama epik terjadi. RUU ini sudah diusulkan pemerintah, bahkan Jokowi sempat kirim Surpres ke DPR tahun 2023. Sudah masuk Prolegnas 2025–2029. Tapi, tiap kali dibahas, selalu ada alasan teknis, “butuh kajian lebih dalam”, “harus koordinasi lintas komisi”, “ini sensitif”. Pokoknya, dewan lebih lihai main drama dari aktor FTV sore.
Kenapa ditakuti? Karena sistem pembalikan beban pembuktian itu bikin para elite mimpi buruk. Bagaimana kalau tiba-tiba ada pertanyaan, “Pak, rumah tiga lantai ini hasil gaji berapa bulan? Mobil mewah lima biji itu warisan siapa?” Keringat dingin pasti bercucuran. Tidak heran, RUU ini dianggap bukan sekadar draf hukum, tapi monster berkepala tujuh yang siap melahap rahasia gelap kekayaan.
Di jalanan, mahasiswa dan buruh tak peduli. Mereka terus turun, membawa spanduk absurd, “RUU Perampasan Aset, jangan biarkan koruptor menari di surga pajak!” Rasanya seperti sedang menyaksikan parade satire, di satu sisi rakyat orasi, di sisi lain dewan sibuk rapat sambil mencari pintu darurat.
Apakah RUU ini akan disahkan? Itu masih misteri. Tapi satu hal jelas, selama dewan lebih takut pada audit harta dari takut pada sumpah jabatan, perjalanan RUU ini akan seperti sinetron ijazah palsu, panjang, berliku, dan tak jelas kapan tamatnya.
Maka, rakyat hanya bisa berharap, semoga pocong di jalan gelap lebih cepat hilang dari rasa takut dewan pada RUU ini. Karena kalau pocong bisa diusir dengan doa, RUU ini hanya bisa ditaklukkan dengan tanda tangan keberanian. Sampai hari ini, keberanian itu masih dicari, entah di meja rapat DPR, atau di hati nurani yang sudah lama digadaikan.
Dalam Islam, harta yang diperoleh dari jalan haram tidak akan pernah membawa berkah, bahkan Rasulullah SAW menegaskan, “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih pantas baginya” (HR. Tirmidzi). Pesan ini sejalan dengan semangat RUU Perampasan Aset: merampas kembali kekayaan hasil korupsi untuk dikembalikan kepada rakyat, sebab korupsi bukan hanya merampas uang negara, tetapi juga merampas hak fakir miskin, pendidikan anak-anak, dan pelayanan publik. Maka, jika dewan sungguh-sungguh beriman, mestinya mereka tidak perlu takut pada RUU ini, karena sesungguhnya yang mereka takuti bukan undang-undang, melainkan hisab Allah atas harta haram yang mereka sembunyikan.
“Bang, saya suka istilah LSM yang merangkap wartawan yang bilang ‘ngapain takut kalau benar’ Kecuali memang salah, wajar takut.”
“Benar juga, wak”
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar