OPINI|TribunX.id, Ada sesuatu yang bergetar ketika Presiden Prabowo menyebut kata “makar” dan “terorisme” bersama sepuluh ketua partai di Istana. Seperti gong purba yang dipukul, kata-kata itu menggema menembus dinding marmer, melewati kamera televisi, hingga masuk ke otak rakyat jelata yang sedang makan mi instan. Mendadak, bangsa ini dibawa ke dalam lorong waktu penuh tanda tanya. Apakah kita sedang menghadapi revolusi mahasiswa jilid dua, atau sekadar episode terbaru dari sinetron politik Nusantara yang ratingnya semakin melejit?
Kata “makar” bukan sekadar istilah hukum, ia adalah mantra. Begitu ia diucapkan, mahasiswa yang berpeluh di jalanan mendadak berubah wujud di mata publik, dari idealis bersepatu compang-camping menjadi bayangan konspirator internasional yang katanya bisa meruntuhkan republik hanya dengan poster karton. Kata “terorisme” lebih dahsyat lagi. Ia membawa imajinasi publik langsung pada bom, ISIS, paspor palsu, hingga mata-mata asing yang katanya menyamar jadi pedagang cilok. Padahal bisa saja mereka cuma mahasiswa lapar yang belum sempat sarapan.
Namun, siapa tahu? Di dalam teori konspirasi, selalu ada ruang untuk hal yang lebih absurd. Bayangkan, wak! di balik kericuhan itu, ada tangan tak kasatmata. Ada yang bilang CIA sedang menguji coba algoritma chaos terbaru. Ada pula yang percaya IMF menyalakan lilin di ruangan gelap sambil membaca mantra, agar Indonesia kembali tunduk pada hutang. Ada yang lebih ekstrim lagi, alien dari galaksi Andromeda ikut mengatur skenario ini, karena mereka tidak tahan melihat harga gorengan di bumi semakin mahal.
Sementara itu, di lapangan, fakta berserakan. Gedung DPRD terbakar, rumah pejabat dijarah, stasiun dilempari. Apakah ini murni mahasiswa? Atau penyusup bayaran? Atau sekadar rakyat lapar yang melihat kesempatan emas untuk membawa pulang televisi baru? Tak ada yang bisa memastikan. Bahkan intelijen pun mungkin bingung, antara laporan lapangan dan drama politik yang dimainkan di layar kaca.
Prabowo, dengan gaya teatrikalnya, seolah sedang berperan dalam film epik, berdiri di podium seperti jenderal yang baru pulang dari medan perang, menatap rakyat dengan nada penuh rahasia. Ketika ia berkata “…bahwa ada yang mengarah pada makar dan terorisme,” seakan-akan ia sedang memberi kode kepada para elite, bersiaplah, ada badai yang lebih besar dari sekadar demo mahasiswa. Atau jangan-jangan, ia sedang menyindir para lawan politik yang dulu bersekongkol dalam ruangan gelap, lalu sekarang pura-pura mendukung demokrasi?
Rakyat pun bingung. Sebagian percaya pemerintah memang harus tegas, karena tanpa stabilitas kita bisa jatuh ke jurang negara gagal. Sebagian lain yakin ini hanya cara klasik untuk membungkam mahasiswa, mengurangi legitimasi perjuangan mereka, dan membuat rakyat takut ikut turun ke jalan. Sisanya? Mereka asyik menonton live streaming, memberi komentar seperti juri Indonesian Idol, “Wah aksi kalian keren, tapi pitch control kurang.”
Dalam absurditas ini, kita seakan menyaksikan dua dunia bertabrakan. Dunia mahasiswa dengan idealisme utopis, ingin perubahan, ingin keadilan, ingin harga murah. Dunia pemerintah dengan logika realpolitik, menjaga stabilitas, melabeli makar, memastikan kursi kekuasaan tidak goyang. Di tengah tabrakan itu, lahirlah teori-teori yang semakin konyol, mungkin semua ini hanya gladi resik untuk pemilu berikutnya, mungkin ada sponsor asing, atau mungkin, dan ini versi paling liar, Indonesia sedang menjadi reality show favorit di planet lain.
Maka, memahami pidato Prabowo bukan sekadar menganalisis teks, tapi ikut menyelami absurditas bangsa. Apakah gejala makar itu nyata atau sekadar ilusi politik? Apakah terorisme itu fakta atau retorika? Tak ada jawaban pasti. Yang jelas, rakyat kembali dipaksa memilih, mendukung pemerintah yang menabuh gong kata “makar”, atau mahasiswa yang menabuh drum di jalanan. Atau mungkin, kita tak perlu memilih, karena dalam drama epik ini, semua tokoh hanyalah aktor dalam skenario besar yang sudah ditulis oleh tangan misterius sejak awal republik.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar