Membuka Tabir Jalan Tol: Antara Hak Selamat dan Kelalaian yang Terstruktur


Jakarta ]]TribunX.id. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Sidang kedua gugatan perdata terhadap Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) kembali digelar hari ini. Di ruang sidang, suasana hening, namun tegang. Sorot kamera awak media tak henti menyorot wajah para penggugat dan kuasa hukum mereka.13/5/2025

“Kami tidak datang hanya untuk menang atau kalah,” kata Eddy Suzendi, S.H., Advokat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, membuka keterangannya kepada media.
“Sidang ini bukan sekadar pertarungan yuridis, melainkan ikhtiar moral untuk membongkar praktik kelalaian sistemik di balik kemewahan aspal jalan tol. Ini tentang hak dasar: hak untuk hidup, hak untuk selamat,” tegasnya.

Irjen Pol. (Purn.) Drs. H. Agung Makbul, S.H., M.H., Ketua Tim Kuasa Hukum, menambahkan bahwa perkara ini menjadi sejarah baru di Indonesia.

“Untuk pertama kalinya, warga negara menggugat BUJT karena lalai memenuhi kewajiban pelayanan publik yang telah diatur oleh undang-undang,” ujarnya.
Agung menyebut bahwa gugatan ini didasarkan pada pelanggaran terhadap UU No. 2 Tahun 2022 tentang Jalan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, PP No. 23 Tahun 2024, dan Permen PUPR No. 16 Tahun 2014 tentang SPM Jalan Tol.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Faisal, S.H., M.H. (Ketua), Marper Pandiangan, S.H., M.H. (Anggota I), dan Khusaini, S.H., M.H. (Anggota II), pihak PT LMS hadir sebagai tergugat pertama. Namun, dua pihak lainnya – PT Astra Infra Toll dan BPJT Kementerian PUPR – belum hadir dan akan dipanggil ulang pada tanggal 14 Mei 2025.

Eddy Suzendi menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari kecelakaan maut di KM 176+300 Jalur B Tol Cipali, yang merenggut satu nyawa dan melukai tiga orang dari rombongan dosen Universitas Pamulang.

“Bus itu tergelincir karena permukaan jalan yang licin akibat genangan air—indikasi buruknya sistem drainase. Ini bukan semata ‘force majeure’, ini buah dari pembiaran,” jelas Eddy.
Ia juga menyoroti banyaknya insiden serupa, mulai dari kendaraan yang terjun dari jalan tol, tabrak belakang akibat bahu jalan yang tidak steril, hingga hilangnya ratusan baut dan pelat besi selama berbulan-bulan.

“Semua ini menandakan bahwa jalan tol kita belum memiliki sistem ‘forgiving road’ yang seharusnya menyelamatkan pengemudi yang lelah atau kehilangan kontrol,” ujarnya.
“Kalau masyarakat membayar untuk menggunakan jalan ini, maka mereka berhak mendapatkan perlindungan. Bukan hanya pengemudi yang harus bertanggung jawab saat kecelakaan, tapi juga pengelola jalan tol,” pungkas Eddy.

Agung Makbul menambahkan bahwa gugatan ini bukan sekadar menuntut ganti rugi senilai Rp 102 miliar bagi keluarga korban.

“Kami ingin gugatan ini menjadi pintu pembuka kesadaran masyarakat. Bahwa jika Anda celaka di jalan tol karena kelalaian BUJT, Anda berhak menggugat. Anda tidak sendirian,” tegas Agung.

Di akhir pernyataannya, Eddy Suzendi menutup dengan harapan,
“Semoga majelis hakim membuka telinga dan membuka hati. Karena di balik tuntutan ini, ada upaya membangun akuntabilitas jalan tol yang telah lama hilang dari peta keadilan.”

Tim Kuasa Hukum Penggugat:

Irjen Pol. (Purn.) Drs. H. Agung Makbul, S.H., M.H. (Ketua)

Eddy Suzendi, S.H.

Arief Fahrurrozie Hidayat, S.H., M.H.

M. Budi Susandi, S.H., M.H.

(Kustiawan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *