Yang Lain Dinonaktifkan, PDIP Cukup Minta Maaf

OPINI|TribunX.id, Ada rasa tak adil. Kalau memang dinonaktifkan, semua dong yang menyakiti rakyat. Kali ini kena giliran PDIP. Partai banteng moncong putih lebih memilih meminta maaf ke rakyat dari pada menonaktifkan kadernya. Mari kita lindas, eh salah, kupas lebih dalam cerita ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Politik Indonesia memang tidak pernah kekurangan adegan. Ada yang copot kursi, ada yang mundur penuh drama, ada juga yang sekadar melambaikan tangan lalu berkata, “maaf ya, kami khilaf.” Begitulah bedanya Nasdem, PAN, dan Golkar dengan PDIP. Yang tiga tadi main gaya gladiator, begitu kader bikin ulah, langsung dipancung kariernya di DPR. Sementara PDIP? Ah, cukup panggil ketua DPP, gelar jumpa pers, lempar mantra sakti “kami sungguh-sungguh minta maaf,” lalu bubar jalan. Beres. Selesai. Rakyat pun diharapkan kembali tersenyum seperti iklan pasta gigi.

Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, tampil bak dalang wayang di Senayan. Dengan suara berat penuh kesungguhan, ia membacakan skrip permintaan maaf untuk Deddy Sitorus dan Sadarestuwati. Katanya, ini pelajaran berharga. Katanya, ini soal etika. Katanya lagi, ini tentang diksi dan empati. Ah, diksi? Empati? Di saat rakyat sibuk mengatur isi dapur agar bisa bertahan tiga hari lagi, elite malah sibuk mengatur kosa kata agar tidak terlalu menyayat telinga. Rasanya seperti menonton tukang kebun yang sibuk mencukur rumput padahal rumahnya sedang terbakar.

Kita ingat betul, Deddy Sitorus sempat meluncurkan istilah “rakyat jelata.” Sebuah kalimat yang keluar begitu saja, tapi menghantam kesadaran kolektif. “Jelata” itu kan istilah abad pertengahan, ketika raja duduk di singgasana emas, sementara rakyat disuruh sujud sambil merangkak. Namun ternyata, di tahun 2024, di acara TV nasional, seorang anggota DPR masih nyaman meluncurkannya, seolah-olah sedang membaca naskah drama kerajaan Majapahit. Videonya viral, dan rakyat pun terbakar amarahnya.

Belum reda, datang Sadarestuwati dengan gaya lain. Di Sidang Tahunan MPR, yang seharusnya sakral dan penuh wibawa, ia justru ikut berjoget. Joget! Ya Tuhan. Saat rakyat pontang-panting cari beras, listrik naik, BBM nambah, pajak menggila, para wakil malah berjoget di podium negara. Sebuah pemandangan yang begitu menyesakkan, sampai-sampai netizen tak tahu harus tertawa atau menangis.

Ketika kritik membanjir, PDIP pun keluar dengan jurus pamungkasnya, minta maaf. Bukan sanksi, bukan teguran keras, apalagi pencopotan. Cukup maaf. Persis seperti orang yang menabrak mobil mewah tapi cuma bilang, “aduh, maaf ya, saya khilaf,” lalu pergi begitu saja. Kata “maaf” diperlakukan seperti jimat sakti, bisa menutup luka, menghapus jejak, bahkan meredam kebakaran sosial.

Rakyat yang menonton pun tidak punya pilihan selain kecewa. Kecewa karena permintaan maaf di negeri ini sudah seperti pulsa darurat: bisa dipakai berkali-kali, tapi tetap bikin sakit hati ketika tagihannya datang. Kecewa karena partai sebesar PDIP masih percaya bahwa rakyat cukup diberi kata manis untuk melupakan penghinaan. Kecewa karena drama politik selalu berakhir dengan script murahan: salah, maaf, selesai.

Pada akhirnya, kita semua tahu, politik di negeri ini adalah opera sabun tanpa episode terakhir. Nasdem, PAN, Golkar mungkin main kasar dengan mencopot kadernya, tapi setidaknya ada aksi nyata. Sementara PDIP memilih jadi sutradara komedi situasi, cukup bilang maaf, lalu berharap penonton tertawa dan melupakan semuanya. Sayangnya, rakyat tidak lagi tertawa. Rakyat hanya terdiam, penuh kecewa, karena sadar, di negeri ini, kata “maaf” lebih murah daripada sebutir garam.

“Bang, tahu ndak alamat rumah dua wakil rakyat itu?”
“Mau ngapain nanya alamat segala, wak?”
“Silaturahmi dan numpang ngopi, Bang.”
“Parah, bagus kita ke Asiang tempat Gibran ngopi kemarin.”

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *